Opini

Kebijakan Zalim Pemprov Jabar: Diskriminasi Pendidikan dan Pemaksaan Vasektomi yang bertentangan dengan agama

×

Kebijakan Zalim Pemprov Jabar: Diskriminasi Pendidikan dan Pemaksaan Vasektomi yang bertentangan dengan agama

Sebarkan artikel ini


Oleh Dr. H. Saepuloh, M.Pd – Doktor Ilmu Sosial Universitas Merdeka Malang & Ketua Pergunu Jawa Barat

Kesenjangan pendanaan pendidikan di Jawa Barat kian nyata. Sekolah menengah negeri (SMA/SMK) menerima Bantuan Operasional Penyelenggaraan Daerah (BOPD) sekitar Rp1,9 juta per siswa per tahun. Sementara itu, sekolah swasta hanya memperoleh Bantuan Pendidikan Menengah Universal (BPMU) sebesar Rp562.435 per siswa per tahun—angka ini bahkan turun dari tahun sebelumnya yang mencapai Rp600 ribu. Perbedaan yang mencolok ini menunjukkan bahwa kebijakan anggaran pendidikan di Jawa Barat belum berpihak secara adil terhadap seluruh satuan pendidikan.

Pendidikan merupakan fondasi utama peradaban. Oleh karena itu, kebijakan anggaran dan sosial seharusnya diarahkan untuk memperkuat pembangunan sumber daya manusia. Sayangnya, kebijakan Pemerintah Provinsi Jawa Barat dalam Peraturan Gubernur Nomor 12 Tahun 2025 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Gubernur Nomor 30 Tahun 2024 justru memperlihatkan arah sebaliknya: tidak berpihak pada pendidikan, khususnya lembaga pesantren dan madrasah. Ironisnya, muncul pula wacana yang tidak manusiawi—yakni menjadikan vasektomi sebagai syarat penerima bantuan sosial (bansos). Kebijakan ini tidak hanya melukai nilai-nilai kemanusiaan, tetapi juga bertentangan dengan ajaran Islam serta mengancam masa depan pendidikan masyarakat kecil.

Vasektomi: Haram dalam Pandangan Islam

Dalam Islam, vasektomi sebagai bentuk kontrasepsi permanen (sterilisasi pria) dinilai haram, kecuali dalam kondisi medis yang sangat darurat. Hal ini telah ditegaskan melalui Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia IV yang diselenggarakan di Pesantren Cipasung, Tasikmalaya, pada 2012. MUI menyatakan:

“Sterilisasi permanen seperti vasektomi dan tubektomi hukumnya haram, kecuali karena alasan darurat medis menurut pertimbangan dokter yang kompeten dan tepercaya.”

Dengan demikian, menjadikan vasektomi sebagai prasyarat bansos merupakan bentuk pemaksaan terhadap sesuatu yang diharamkan agama, sekaligus pelanggaran terhadap hak asasi manusia dan konstitusi negara. Ini bukan sekadar kebijakan yang keliru, tetapi juga pelanggaran terhadap norma-norma agama dan moral publik.

Keterkaitan Vasektomi dengan Pendidikan

Pendidikan dan kesejahteraan keluarga merupakan dua aspek yang saling terkait. Pemerintah seharusnya memperkuat peran sekolah, pesantren, dan madrasah dalam mencetak generasi yang cerdas. Menekan angka kelahiran tanpa memperbaiki akses dan kualitas pendidikan hanya akan memperdalam ketimpangan sosial dan memperpanjang rantai kemiskinan struktural. Mengedepankan vasektomi sebagai solusi penerimaan bansos mencerminkan kegagalan dalam memahami akar permasalahan masyarakat.

Ketimpangan dalam Alokasi Anggaran

Peraturan Gubernur Nomor 12 Tahun 2025 menunjukkan bahwa alokasi anggaran pendidikan belum berpihak pada lembaga pendidikan berbasis keagamaan. Dana hibah untuk pesantren hampir seluruhnya dihapus, tersisa hanya anggaran untuk LPTQ Jawa Barat sebesar Rp9 miliar dan Yayasan Matlau’l Anwar Bogor sebesar Rp250 juta. Tidak ada alokasi signifikan bagi ribuan pesantren lainnya yang tersebar di seluruh Jawa Barat.

Pada saat yang sama, BPMU untuk SMA/SMK swasta menurun menjadi Rp562.435 per siswa per tahun, sementara SMA/SMK negeri tetap menerima BOPD sebesar Rp1,9 juta per siswa per tahun. Ketimpangan ini mencerminkan ketidakadilan dalam kebijakan anggaran, baik antara sekolah negeri dan swasta maupun antara pendidikan umum dan pendidikan berbasis nilai keagamaan.

Diskriminasi terhadap Pesantren dan Madrasah

Sekolah negeri di Jawa Barat terus mendapatkan dukungan anggaran yang memadai, termasuk pembayaran honor guru dari APBD. Sebaliknya, guru madrasah dan pesantren harus bertahan dengan insentif yang kecil dan tidak menentu. Lembaga swasta yang dikelola oleh ormas Islam harus bersaing memperebutkan anggaran yang minim dan tidak pasti, sedangkan sekolah negeri difasilitasi secara sistemik dan berkelanjutan.

Padahal, lembaga pendidikan swasta seperti SMA/SMK swasta dan pondok pesantren sejatinya membantu negara dalam memenuhi amanat konstitusi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Saat negara belum mampu menyediakan akses pendidikan secara merata, lembaga-lembaga ini hadir dengan semangat pengabdian dan gotong royong. Alih-alih didiskriminasi, mereka seharusnya didukung dan diberdayakan.

Penutup

Kami menyerukan kepada Pemerintah Provinsi Jawa Barat untuk:

  1. Menghentikan wacana vasektomi sebagai syarat bansos karena tidak manusiawi, bertentangan dengan fatwa MUI, serta melanggar prinsip hak asasi manusia.
  2. Mengembalikan alokasi hibah bagi pesantren dan madrasah serta meningkatkan kembali BPMU ke angka yang layak.
  3. Menghapuskan diskriminasi pendidikan dan memperlakukan lembaga pendidikan negeri maupun swasta secara adil.

Pendidikan adalah hak seluruh rakyat, bukan monopoli sekolah negeri. Jika ketidakadilan ini terus dibiarkan, maka Pemprov Jawa Barat tengah menggali jurang ketimpangan dan menciptakan krisis masa depan yang tak terhindarkan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *