Ekonomi

Tantangan Ekonomi Indonesia: Pertumbuhan Solid, Tapi Transformasi Struktural Masih Jauh dari Harapan

×

Tantangan Ekonomi Indonesia: Pertumbuhan Solid, Tapi Transformasi Struktural Masih Jauh dari Harapan

Sebarkan artikel ini

Di tengah euforia pertumbuhan ekonomi sebesar 5 persen pada 2024, ekonomi Indonesia tampak bergerak maju. Namun di balik angka makro yang menggembirakan, terselip persoalan fundamental: produktivitas nasional menurun, kualitas pekerjaan memburuk, dan kapasitas fiskal belum mampu menopang agenda pembangunan jangka panjang. Jika dibiarkan, kombinasi ini dapat menggagalkan ambisi Indonesia menjadi negara berpendapatan tinggi pada 2045.

Pertumbuhan Tinggi, Tapi Tidak Produktif

Stabilitas ekonomi Indonesia memang terjaga, terutama didukung oleh konsumsi rumah tangga dan belanja fiskal menjelang pemilu. Namun, dalam kerangka teori pertumbuhan endogen, ketergantungan pada konsumsi dan transfer fiskal bukanlah landasan yang kokoh bagi pembangunan jangka panjang. Tanpa peningkatan produktivitas faktor total (Total Factor Productivity/TFP) dan inovasi teknologi, pertumbuhan tersebut akan stagnan.

TFP Indonesia justru melambat dari 2,3 persen (2011) menjadi 1,2 persen (2024). Ini mencerminkan melemahnya efisiensi sistemik, di mana modal dan tenaga kerja tidak mengalir ke sektor-sektor paling produktif. Ketimpangan digital, inefisiensi birokrasi, dan ketidakpastian hukum memperburuk alokasi sumber daya.

Kualitas Pekerjaan: Di Balik Penciptaan Lapangan Kerja

Penciptaan lapangan kerja yang cukup masih menjadi tantangan besar. Meskipun jumlah pekerjaan terus bertambah, banyak pekerjaan yang tercipta tidak memenuhi standar kualitas. Hal ini tercermin dalam meningkatnya tingkat setengah pengangguran yang mencapai 8,5 persen, yang mengindikasikan bahwa banyak pekerja yang tidak mendapatkan jam kerja atau pendapatan yang layak.

Fenomena ini sejalan dengan apa yang disebut jobless growth dalam literatur ekonomi tenaga kerja modern—yakni ketika ekonomi tumbuh tanpa menyerap tenaga kerja secara berkualitas. Struktur pasar tenaga kerja yang rigid dan pendidikan vokasi yang tidak adaptif terhadap kebutuhan industri memperparah mismatch antara permintaan dan penawaran tenaga kerja.

Mengutip Laporan Bank Dunia: Ketimpangan Risiko Masih Tinggi

Persoalan kualitas kerja dan stagnasi produktivitas juga diangkat dalam laporan Macro Poverty Outlook: Country-by-Country Analysis and Projections for the Developing World (World Bank, April 2025):

“Despite robust economic growth, Indonesia continues to struggle with structural challenges, particularly low labor productivity and persistent underemployment in rural and informal sectors. Achieving inclusive development will require stronger fiscal capacity and institutional reforms.”
— Macro Poverty Outlook, April 2025 – World Bank

Kutipan ini menegaskan bahwa pertumbuhan Indonesia masih rentan. Bukan karena kurangnya aktivitas ekonomi, tetapi karena kualitas fundamental pembangunan yang belum terbangun.

Kemiskinan di Indonesia: Posisi Keempat Tertinggi

Menarik untuk dicatat bahwa meskipun Indonesia terus mencatatkan pertumbuhan ekonomi yang positif, tingkat kemiskinan negara ini masih sangat tinggi. Berdasarkan data dari Macro Poverty Outlook yang diterbitkan Bank Dunia pada April 2025, Indonesia berada di peringkat keempat di dunia dengan persentase penduduk miskin terbesar, yakni mencapai 60,3 persen pada tahun 2024. Angka ini menunjukkan bahwa lebih dari separuh penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan yang ditetapkan Bank Dunia, yakni 6,85 dollar AS per kapita per hari (setara dengan Rp 113.234).

Sebagai perbandingan, negara-negara dengan persentase kemiskinan terbesar pada 2024 menurut laporan tersebut adalah:

  1. Afrika Selatan: 63,4 persen
  2. Namibia: 62,5 persen
  3. Botswana: 61,9 persen
  4. Indonesia: 60,3 persen
  5. Guatemala: 57,3 persen
  6. Guinea Khatulistiwa: 57 persen
  7. Armenia: 51 persen
  8. Fiji: 50,1 persen
  9. Georgia: 35,6 persen
  10. Gabon: 34,6 persen

Hal ini mencerminkan ketimpangan yang mendalam dalam distribusi pendapatan dan akses terhadap sumber daya, meskipun Indonesia berada dalam kategori negara berpendapatan menengah ke atas menurut Bank Dunia.

Rasio Pajak dan Beban Fiskal: Titik Lemah Transformasi

Salah satu penghambat utama transformasi struktural adalah kapasitas fiskal yang terbatas. Rasio pajak terhadap PDB yang hanya 12,7 persen—terendah di antara negara peers—membatasi ruang pemerintah untuk berinvestasi dalam infrastruktur sosial dan fisik.

Sementara itu, potensi penerimaan pajak yang belum tergali mencapai 6,4 persen dari PDB. Namun alih-alih memperluas basis pajak secara strategis, pemerintah memilih menunda kenaikan PPN dan menempuh penghematan. Ini menunjukkan adanya tekanan politik jangka pendek yang mengorbankan agenda transformasi jangka panjang.

Investasi dan Kebijakan: Antara Harapan dan Ketidakpastian

Investasi asing langsung (FDI) masih menjadi tumpuan, terutama di sektor hilirisasi mineral. Namun tanpa kepastian hukum dan keberlanjutan regulasi, aliran investasi akan tetap fluktuatif. Defisit transaksi berjalan yang diproyeksikan melebar menjadi 1,7 persen PDB pada 2027 akan meningkatkan kebutuhan pembiayaan eksternal.

Dalam situasi seperti ini, policy credibility menjadi lebih penting dari sekadar deregulasi. Seperti dijelaskan dalam teori ekonomi kelembagaan, negara dengan institusi kuat cenderung mampu menjaga iklim investasi jangka panjang, sedangkan negara dengan kebijakan berubah-ubah akan kehilangan momentum.

Kesimpulan : Jalan Menuju Negara Maju Masih Panjang dan Terjal

Ambisi Indonesia menjadi negara maju pada 2045 merupakan visi yang strategis, tetapi tidak otomatis tercapai dengan pertumbuhan ekonomi tahunan yang stabil. Diperlukan akselerasi reformasi struktural berbasis produktivitas, perluasan kapasitas fiskal, serta penciptaan sistem kerja yang inklusif dan adaptif.

Tanpa perbaikan menyeluruh terhadap fondasi pembangunan, pertumbuhan hanya akan memperbesar ketimpangan dan menunda transisi menuju negara berpendapatan tinggi. Transformasi ekonomi tidak hanya butuh angka, tetapi juga arah.

Sumber:
The World Bank Macro Poverty Outlook
April 2025
Country-by-country Analysis and Projections for the Developing World

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *