Opini

27 Tahun Berlalu, Apakah Amanat Reformasi Masih Relevan dan Terwujud?

×

27 Tahun Berlalu, Apakah Amanat Reformasi Masih Relevan dan Terwujud?

Sebarkan artikel ini

Rabu, 21 Mei 2025, menjadi penanda 27 tahun perjalanan reformasi Indonesia—sebuah momen historis yang digerakkan oleh semangat kolektif untuk membangun tatanan negara yang lebih adil, demokratis, dan bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Gerakan Reformasi 1998 bukan hanya perlawanan terhadap otoritarianisme Orde Baru, tetapi juga representasi dari harapan rakyat terhadap negara hukum yang menjunjung tinggi kebebasan sipil dan akuntabilitas kekuasaan.

Namun setelah hampir tiga dekade, banyak pihak mempertanyakan: sejauh mana amanat reformasi benar-benar diwujudkan? Tuntutan utama reformasi—pemberantasan KKN, penguatan supremasi hukum, penghapusan dwifungsi TNI, dan otonomi daerah yang efektif—masih menyisakan pekerjaan besar. Kalangan akademisi hukum, pegiat masyarakat sipil, hingga gerakan mahasiswa menilai capaian-capaian tersebut belum optimal, bahkan menunjukkan tanda-tanda regresi dalam sejumlah aspek.

Fenomena yang mengkhawatirkan hari ini adalah munculnya kembali karakteristik otoriter yang dibungkus dalam format demokrasi elektoral. Negara yang semestinya memperluas ruang partisipasi justru menunjukkan kecenderungan represif: membatasi kebebasan berekspresi, melakukan kriminalisasi terhadap aktivisme, serta mengintervensi lembaga-lembaga demokrasi. Hal ini menandai gejala democratic backsliding atau kemunduran demokrasi.

Nancy Bermeo (2016) menjelaskan bahwa regresi demokrasi modern tidak lagi muncul melalui kudeta atau pembatalan pemilu secara terang-terangan, tetapi melalui pelemahan institusi secara perlahan oleh aktor-aktor terpilih. Bermeo menyebut bentuk ancaman baru ini sebagai “gradual concentration of power by elected leaders.”

Meskipun demokrasi prosedural tetap berjalan—pemilu rutin, pergantian presiden, serta aktivitas parlemen—substansi demokrasi seperti pluralisme politik, check and balances, dan kebebasan sipil justru terkikis. Kecenderungan ini menunjukkan bahwa demokrasi Indonesia belum tumbuh secara substantif, melainkan terjebak dalam formalisme yang rapuh.

Birokrasi dan Politik Populis: Antara Efisiensi dan Alat Kekuasaan

Salah satu elemen penting pasca-reformasi yang mendapat sorotan adalah birokrasi. Secara teoritis, birokrasi ideal berlandaskan prinsip rasional-legal sebagaimana dirumuskan oleh Max Weber: netral, profesional, dan berorientasi pada pelayanan publik. Namun dalam konteks Indonesia, birokrasi masih menunjukkan wajah patrimonialisme, di mana loyalitas pribadi dan kepentingan politik lebih dominan ketimbang efisiensi administratif.

Bahkan, birokrasi kini bukan sekadar objek politisasi, melainkan bagian dari strategi aktif kekuasaan. Dalam praktiknya, birokrasi dimobilisasi untuk mendukung program populis—dari distribusi bansos, subsidi langsung, hingga pembentukan lembaga-lembaga ad hoc—yang tujuannya memperkuat legitimasi politik petahana. Ini sejalan dengan apa yang disebut Pierre Englebert (2022) sebagai neo-patrimonial governance, di mana birokrasi lebih berfungsi sebagai alat bertahan hidup politik ketimbang mesin pelayanan publik:

Neo-patrimonial governance transforms the state bureaucracy into a tool of political survival, not administrative efficiency.

Levitsky dan Ziblatt (2023) dalam “The Tyranny of the Majority Revisited” juga menggarisbawahi bagaimana dalam sistem demokrasi elektoral yang lemah, birokrasi dijadikan instrumen untuk menciptakan aparat loyalis atas nama mandat rakyat. Pola ini memperlihatkan bahwa netralitas birokrasi terkikis, digantikan peran politik yang menancap hingga ke tingkat administrasi.

Dalam konteks ini, fenomena yang disebut Dan Slater (2004) sebagai accountability trap menjadi relevan. Yaitu kondisi di mana kekuasaan dikuasai oleh kartel partai politik yang saling melindungi demi mempertahankan status quo, sehingga mekanisme pengawasan menjadi tumpul dan kekuasaan eksekutif meluas tanpa kontrol berarti.

Kooptasi Masyarakat Sipil dan Ancaman Demokrasi Semu

Di sisi lain, masyarakat sipil yang selama ini menjadi penjaga demokrasi justru menghadapi strategi penjinakan melalui kooptasi politik. Jika pada masa Orde Baru represi dilakukan secara terbuka, kini kooptasi menjadi bentuk hegemoni yang lebih halus namun efektif. LSM, pemimpin komunitas, hingga akademisi ditarik ke dalam struktur kekuasaan melalui insentif finansial, jabatan, dan akses sumber daya negara.

Thomas Carothers (2022) menyebut ini sebagai bagian dari subtle authoritarianism, di mana kooptasi menciptakan “pseudo-pluralism”—ruang sipil seolah bebas, padahal dikendalikan penuh dari pusat kekuasaan. Strategi ini tidak membungkam dengan kekerasan, melainkan dengan kooptasi yang sistemik dan manipulatif.

Levitsky dan Lucan Way (2020) dalam “The New Competitive Authoritarianism” menjelaskan bahwa otoritarianisme baru memanfaatkan format demokrasi—seperti pemilu dan kebebasan berserikat—namun digunakan untuk memperkuat rezim melalui kontrol atas sumber daya negara. Dalam konteks ini, kooptasi bukan hanya strategi politik, melainkan mekanisme hegemonik untuk mendistorsi hubungan negara dan rakyat.

Nancy Fraser (2021) melalui kerangka progressive neoliberalism menunjukkan bahwa kooptasi masyarakat sipil juga berkaitan dengan aliansi antara elite negara dan elite pasar. Dalam aliansi ini, akses terhadap sumber daya ekonomi—terutama sumber daya alam—dijadikan alat tukar bagi loyalitas politik. Pola ini membungkam resistensi dengan cara menyerapnya ke dalam struktur kekuasaan itu sendiri.

Menjaga Nyala Reformasi

Reformasi bukanlah bab sejarah yang sudah rampung, melainkan proyek politik jangka panjang yang menuntut keberanian, konsistensi, dan partisipasi aktif dari seluruh elemen bangsa. Saat ini, kita menghadapi kenyataan bahwa demokrasi tidak otomatis tumbuh hanya dengan pemilu. Demokrasi memerlukan kebebasan sipil yang dijamin, institusi yang kuat, serta masyarakat sipil yang merdeka dari kooptasi.

Reformasi belum selesai, dan tak akan selesai jika publik memilih diam. Dalam menghadapi gejala otoritarianisme baru, ingatan kolektif atas cita-cita reformasi harus terus dirawat. Sebab tanpa perlawanan kritis, negara ini berisiko jatuh dalam siklus otoritarianisme dalam wajah demokrasi semu.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *