Voxasia.id | 2 Juni 2025
Pemerintah Indonesia tengah menjalankan program besar: membentuk 80.000 koperasi di seluruh desa dan kelurahan. Inisiatif ini dikenal sebagai Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih (Kopdes Merah Putih). Targetnya, program ini rampung sebelum akhir 2025 untuk memperkuat ketahanan pangan dan pemerataan ekonomi dari tingkat akar rumput.
Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, menegaskan bahwa koperasi desa akan menjadi tulang punggung ekonomi kerakyatan. Pemerintah berharap koperasi ini dapat memotong rantai distribusi pangan yang selama ini panjang dan dikuasai tengkulak, sehingga harga bahan pokok bisa lebih terjangkau masyarakat.
Landasan Hukum dan Koordinasi Lintas Kementerian
Proyek strategis ini berlandaskan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2025. Inpres ini memerintahkan kementerian dan lembaga terkait untuk bersinergi secara terpadu dalam mempercepat pembentukan koperasi.
Kementerian Komunikasi dan Informatika bertugas menyediakan infrastruktur digital serta mengadakan pelatihan teknologi informasi bagi pengelola koperasi. Badan Pangan Nasional fokus mengoptimalkan koperasi sebagai ujung tombak stabilisasi pasokan dan harga pangan. Badan Gizi Nasional juga mengarahkan koperasi mendukung program makan bergizi gratis di desa dan kelurahan.
Untuk menjamin akuntabilitas, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) mendapat mandat memberikan konsultasi dan assurance terkait pengelolaan dana serta pelaksanaan program, termasuk rekomendasi antisipasi risiko.
Kritik DPR: Model Bisnis Masih Kabur
Meski mendapat dukungan Inpres, DPR RI memberikan sorotan tajam. Dalam rapat kerja Komisi VI dengan Kementerian Koperasi dan UKM, anggota DPR Darmadi Durianto menyoroti ketidakjelasan model bisnis program ini.
“Apakah ada business model yang jelas? Misalnya konsep Blue Ocean Strategy oleh Chan Kim. Mana key resources-nya? Mana customer segmennya? Mana stream of income-nya? Semua itu tidak ada penjelasannya,” ujar Darmadi. Dia menegaskan bahwa koperasi yang dibentuk harus memiliki rancangan usaha terukur dan dapat dievaluasi secara berkelanjutan.
Tantangan Tata Kelola dan Akuntabilitas
Sejarah koperasi Indonesia menunjukkan tantangan besar dalam tata kelola dan akuntabilitas. Banyak koperasi hanya menjadi formalitas administratif atau alat politik lokal. Para pengamat khawatir proyek ini malah jadi “Kaderisasi Desa Merah Putih” bukan koperasi produktif yang menggerakkan ekonomi desa.
Kepala desa yang berperan sebagai pengawas koperasi menimbulkan polemik. Meski regulasi melarang kepala desa menjadi anggota partai politik, kenyataannya banyak yang memiliki afiliasi politik. Kondisi ini meningkatkan risiko konflik kepentingan dan meragukan independensi koperasi.
Kesiapan SDM dan Infrastruktur Pendukung
Sumber daya manusia (SDM) dan infrastruktur menjadi tantangan utama. Pemerintah menjanjikan pelatihan digital dan manajemen koperasi, tapi waktu dan sumber daya masih terbatas.
Tidak semua desa memiliki kapasitas teknis maupun SDM yang siap mengelola koperasi dengan anggaran miliaran rupiah. Selain itu, keberadaan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) juga menimbulkan risiko tumpang tindih fungsi dan tugas. Jika tidak dikelola baik, proyek ini berpotensi membingungkan pengelolaan ekonomi desa dan menghambat pembangunan lokal.
Beban Fiskal dan Sumber Pendanaan
Dengan asumsi dana Rp4 miliar per koperasi, pemerintah harus mengalokasikan sekitar Rp320 triliun untuk pembentukan 80.000 koperasi. Angka ini sangat besar mengingat tekanan fiskal dan kebutuhan pembangunan lain yang mendesak.
Pemerintah menyebutkan dana akan bersumber dari APBN, APBD, dana desa, dan sumber sah lainnya. Namun, sejumlah kepala desa mengeluhkan beban tambahan tanpa dukungan teknis memadai dalam memenuhi target.
Pengawasan dan Transparansi Kunci Keberhasilan
Agar proyek ini tidak gagal seperti masa lalu, pengawasan ketat mutlak diperlukan. Pemerintah sudah menyiapkan aplikasi pelaporan koperasi, tapi pengawasan nyata di lapangan jauh lebih penting.
BPKP, BPK, inspektorat, serta masyarakat sipil dan media massa harus aktif mengawal program ini. Transparansi pengelolaan koperasi, termasuk pelaporan keuangan dan musyawarah anggota, wajib dijamin supaya penyimpangan dan potensi korupsi diminimalisasi.
Politik dan Potensi Penyalahgunaan Dana
Penamaan “Merah Putih” memunculkan tafsir politis. Publik khawatir proyek ini bisa menjadi alat memperkuat jaringan kekuasaan menjelang Pemilu 2029.
Dugaan bahwa dana koperasi diselewengkan sebagai jalur distribusi dana politik terselubung harus diwaspadai oleh semua pihak.
Harapan dan Tantangan ke Depan
Meski menghadapi kritik dan tantangan, keberhasilan program ini di 75 persen desa sudah menjadi pencapaian besar. Lebih dari 52.000 desa belum memiliki koperasi aktif hingga kini.
Keberhasilan bergantung pada sinergi lintas sektor, keterlibatan masyarakat desa yang otentik, serta niat politik yang bersih dari motif kekuasaan jangka pendek.
Presiden Prabowo dan pemerintah harus membuktikan niat mereka murni memperkuat ekonomi rakyat dan kemandirian nasional, bukan kepentingan politik semata.
Penutup
Koperasi Desa Merah Putih berpotensi menjadi tonggak kebangkitan ekonomi desa jika dikelola tepat, transparan, dan akuntabel. Tanpa persiapan matang dan pengawasan serius, proyek ini bisa menjadi kegagalan besar dalam sejarah koperasi Indonesia.
Pengawasan bersama oleh pemerintah, DPR, media, dan masyarakat sipil harus menjadi prioritas agar niat mulia ini terwujud demi kesejahteraan masyarakat desa di seluruh Indonesia.