Bandung, 10 April 2025 – Pasca satu bulan setelah penyegelan objek wisata Hibisc Fantasy Puncak oleh Gubernur Jawa Barat Kang Dedi Mulyadi (KDM), kritik dan pertanyaan masih terus bergulir. Mantan Ketua DPRD Jawa Barat periode 2000–2004, Eka Santosa, menyampaikan keraguannya terhadap substansi dari tindakan tersebut, yang dinilainya terkesan sporadis dan tidak memiliki arah yang jelas.
Eka, yang kini menjabat sebagai Ketua Forum Penyelamat Hutan Jawa (FPHJ), menyoroti sejumlah kejanggalan dalam proses penyegelan. Ia mempertanyakan logika di balik pembongkaran tempat wisata yang dibangun oleh BUMD PT Jasa dan Kepariwisataan (Jaswita), dan kini justru menimbulkan potensi ganti rugi menggunakan dana APBD Jawa Barat.
“Masa dibangun pakai APBD, dihancurkan, lalu diganti rugi juga pakai APBD? Meski ada investasi di dalamnya, Jaswita ini masih dibiayai oleh APBD Jabar,” ujar Eka, Kamis (10/4).

Lebih lanjut, Eka menyinggung soal kewenangan dalam pelanggaran tata ruang yang disebut-sebut sebagai dasar penyegelan. Menurutnya, wilayah tersebut bukan berada langsung di bawah kendali Pemprov Jabar, melainkan milik PT Perkebunan. Ia menyarankan, jika memang penyegelan karena alasan tata ruang, maka seharusnya dilakukan secara menyeluruh, tanpa tebang pilih.
“Kalau mau tegas soal tata ruang, ya harus konsisten. Pondok Pesantren milik Rizieq Shihab di atas lahan HGU PTPN itu juga melanggar. Harusnya juga disegel,” tegasnya.
Eka juga menyoroti keberadaan bangunan lain di kawasan perkebunan yang dinilainya juga merusak lingkungan, namun tidak mendapat perlakuan serupa.
“Ada beberapa wilayah lain di daerah perkebunan yang berdiri bangunan dan tempat wisata yang merusak lingkungan. Di wilayah PT Perkebunan Nusantara (PTPN) menuju Subang saja, ada dua tempat wisata. Di dekat Tangkuban Perahu ada objek wisata Astro, dan sedikit ke arah Ciater berdiri tempat wisata D’Castello,” ungkapnya.
Menurut Eka, ketidakkonsistenan tersebut menunjukkan adanya ketimpangan dalam penegakan hukum dan aturan lingkungan. Ia pun menyatakan bahwa tindakan Gubernur Dedi Mulyadi mencerminkan gaya kepemimpinan yang otoriter.
“Kalau melihat tindak-tanduk seperti itu, saya mensinyalir gaya kepemimpinan KDM mengarah pada gaya seorang raja. Tak sedikit orang yang mengaitkan beliau dengan sosok Raja Pakuan Pajajaran, Prabu Siliwangi. Sah-sah saja kalau orang mengaitkan, tapi perlu diingat: gubernur itu bukan raja,” tegas Eka.
Ia menambahkan bahwa posisi gubernur diatur oleh Undang-Undang dan tidak bisa bertindak sewenang-wenang.
“Karena diatur oleh UU, maka gubernur tak bisa segel sana-segel sini sesuka hati,” kata Eka.
Eka juga mendesak DPRD Jawa Barat untuk memainkan perannya dalam mengawasi jalannya pemerintahan. Ia menyinggung pula pernyataan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Widiyanti Putri Wardhana, yang menyayangkan pembongkaran beberapa objek wisata di kawasan Puncak.
“Menparekraf saja sampai mengungkapkan keprihatinan. Jadi kami bertanya, sebenarnya substansi penyegelan ini mau diarahkan ke mana? Kalau alasannya untuk menjaga lingkungan dan tata ruang, kami sangat mendukung. Tapi jangan pilih kasih. Kerusakan lingkungan di Puncak bukan hanya dilakukan satu dua pihak saja,” pungkasnya.