Oleh : Moch Ramdani, S.Sos*
Kasus Dedi Mulyadi yang merekam dan menyebarluaskan perdebatan dengan seorang anak kecil di kanal YouTube pribadinya tidak sekadar menimbulkan kontroversi. Ia menyingkap pelanggaran serius terhadap prinsip dasar etika kepemimpinan dan perlindungan hak anak.
Sebagai pejabat publik, Dedi seharusnya memahami bahwa kekuasaan membawa beban moral yang berat: memastikan setiap tindakan termasuk di ruang digital tidak memperbesar kerentanan pihak yang lebih lemah. Namun, alih-alih menunjukkan kebijaksanaan, ia memilih mengekspos seorang anak ke hadapan jutaan mata publik, membuka ruang bagi hujatan, stigma, bahkan potensi trauma jangka panjang.
Kasus ini menandai kegagalan mendasar dalam memahami esensi kepemimpinan: membedakan antara koreksi yang bersifat privat dengan kebutuhan menjaga martabat individu di ruang publik. Pertanyaannya sederhana namun krusial: apakah tindakan itu murni bentuk edukasi, atau justru eksploitasi demi konsumsi konten pribadi? Fakta bahwa video tersebut berujung viral dan memicu komentar kasar hingga bullying menunjukkan betapa kaburnya batas antara niat mendidik dan dorongan mencari popularitas.
Apa yang dilakukan Dedi bukan sekadar keteledoran. Ini adalah cermin nyata dari rendahnya kecerdasan emosional emotional intelligence, dangkalnya kesadaran akan tanggung jawab publik, serta minimnya literasi media dalam era keterbukaan informasi.
Dalam kerangka kepemimpinan sejati, masalah sosial bukanlah komoditas tontonan. Ia harus disikapi dengan upaya konkret; melindungi martabat mereka yang rentan, bukan mengorbankannya demi impresi sesaat.
Perilaku dan protes dari seorang anak yang diperdebatkan seharusnya dilihat dalam lanskap sosial yang lebih luas: ia lahir dari lingkungan yang sarat ketidakadilan struktural, bias nilai sosial, dan ketimpangan akses informasi. Anak itu bukan pelaku kesalahan, melainkan produk dari sistem yang gagal.
Dalam konteks ini, tugas seorang pemimpin bukanlah mempermalukan ketidaksempurnaan individu yang rentan, melainkan memperbaiki lingkungan yang membentuk ketidaksempurnaan tersebut. Bukan mengeksploitasi ketidakberdayaan demi membangun citra pribadi, melainkan memperjuangkan sistem yang lebih adil dan beradab.
Kekuasaan, termasuk kekuasaan atas narasi publik mengandung satu prinsip nonnegotiable: keberpihakan yang tegas untuk melindungi, bukan menambah luka.