Berita

Komisi V DPR RI Gelar RDPU dengan Driver Online, Desakan Regulasi Tegas dan Audit Sistem Makin Menguat

×

Komisi V DPR RI Gelar RDPU dengan Driver Online, Desakan Regulasi Tegas dan Audit Sistem Makin Menguat

Sebarkan artikel ini

Jakarta, Rabu, 21 Mei 2025 — Komisi V Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama para perwakilan pengemudi transportasi online di Gedung Nusantara, Kompleks DPR RI, Senayan, Jakarta. Agenda ini menjadi forum terbuka untuk menyerap langsung aspirasi dan keluhan para driver yang kian terjepit di tengah praktik usaha aplikator yang dinilai tidak transparan dan kerap melanggar aturan.

RDPU digelar dalam rangka penyusunan regulasi yang lebih komprehensif terhadap ekosistem transportasi online. Rapat dipimpin Ketua Komisi V DPR RI Lasarus, dan dihadiri 25 anggota DPR dari 7 fraksi yang ada di DPR. Dengan demikian, kuorum tercapai dan rapat bisa dimulai. 

“Ada 66 asosiasi yang kami undang, yang datanya masuk dari berbagai pihak, sengaja tidak ada satupun yang kami tinggalkan,” ujar Lasarus di Ruang Rapat Komisi V DPR RI, Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta.

Legislator PDIP itu menuturkan bahwa RDPU hari ini untuk menyerap aspirasi dari para pengemudi ojol, yang kemarin, Selasa 20 Mei 2025, melakukan protes besar-besaran di seluruh Indonesia. Sejumlah anggota DPR dari lintas komisi juga turut hadir, termasuk Adian Yunus Yusak Napitupulu dari Komisi VII DPR RI, yang memberikan pandangan tajam dan menyuarakan perlunya audit menyeluruh terhadap sistem potongan dan pungutan yang dilakukan aplikator.

“Waktunya kita tampilkan hitungannya secara terbuka agar komprehensif. Ada potongan yang mencapai 30% hingga 50%, dan lebih parah lagi, muncul biaya tambahan lain seperti ‘biaya jasa aplikasi’ dan ‘biaya layanan’ yang tidak punya dasar hukum,” tegas Adian di hadapan pimpinan Komisi dan peserta RDPU.

Pungutan Tanpa Dasar Hukum, Negara Diam
Adian mempertanyakan diamnya negara terhadap berbagai pungutan yang diambil dari masyarakat, baik dari sisi pengemudi maupun konsumen, tanpa dasar hukum yang jelas.

“Misalnya order Rp30 ribu, potong 30%-50%, belum lagi biaya layanan dan biaya aplikasi dari konsumen bisa sampai Rp11 ribu. Ini bukan cuma persoalan potongan driver, tapi juga pungutan besar dari konsumen yang tidak punya dasar hukum sama sekali,” paparnya.

Adian membeberkan perhitungan kasar: jika setiap order dikenakan potongan dan pungutan hingga Rp20 ribu dan dikalikan dengan total driver serta order harian, maka aplikator bisa meraup hingga Rp92 miliar per hari.

“Ini bukan hanya soal ketimpangan potongan. Tapi ini soal bagaimana negara membiarkan praktik pemungutan tanpa dasar hukum selama bertahun-tahun. Seolah-olah kita hidup bernegara tanpa negara,” ujarnya lantang.

Dorongan untuk Audit dan Transparansi
Lebih lanjut, Adian juga mengangkat isu sistem algoritma distribusi order yang dinilai diskriminatif dan dapat dimanipulasi oleh aplikator. Ia mengungkap bahwa ada sistem “slot prioritas” atau paket tertentu yang harus dibayar pengemudi demi mendapatkan order lebih banyak.

“Bayar Rp20 ribu per hari untuk dapat slot prioritas, setelah itu masih dipotong 20% hingga 50%. Apakah kita pernah lakukan audit algoritma? Kita harus tahu bagaimana sistem ini bekerja. Ini menyangkut keadilan dan transparansi,” desaknya.

Adian menegaskan bahwa negara tidak boleh membiarkan perusahaan berbasis teknologi mengeruk keuntungan dari rakyat melalui skema-skema yang tidak memiliki legitimasi hukum.

“Konferensi pers aplikator bilang pungutan seperti ini terjadi juga di negara lain. Tapi praktik di luar negeri bukan dasar hukum di Indonesia. Kita punya konstitusi, punya undang-undang sendiri,” ucapnya dengan nada tegas.

Desakan Regulasi dan Keadilan Sosial
Sebelumnya, perwakilan dari Aliansi Pengemudi Online Bersatu juga menyampaikan persoalan serupa, mulai dari potongan besar, manipulasi bonus Hari Raya, hingga minimnya perlindungan keselamatan kerja. Salah satu isu utama yang disorot adalah ketidakpatuhan perusahaan aplikator terhadap regulasi yang berlaku.

“Carut-marut persoalan transportasi online ini berawal dari ketidakpatuhan aplikator terhadap Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 dan UU Nomor 5 Tahun 1999. Mereka buat aturan sendiri, potongan sendiri, gimik sendiri. Ini bentuk pembangkangan hukum,” ujar perwakilan aliansi dengan nada geram.

Mereka menegaskan perlunya regulasi dengan sanksi tegas, bahkan pidana, terhadap aplikator yang terbukti melanggar.
“Kalau cuma denda, tidak akan membuat jera. Mereka punya uang, bisa beli siapa saja. Kami cuma ingin pulang bawa uang buat makan dan bayar kontrakan,” ujar salah satu perwakilan pengemudi.

Komisi V DPR RI menyatakan akan menindaklanjuti seluruh masukan yang disampaikan, Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) ini diselenggarakan dalam rangka menyerap masukan secara langsung dari para pengemudi transportasi online. Sesuai dengan Peraturan Tata Tertib DPR RI, seluruh jalannya rapat didokumentasikan dalam bentuk risalah resmi.

“RDPU ini kami laksanakan untuk mendengarkan aspirasi secara terbuka. Semua masukan akan dirangkum dalam kesimpulan rapat, baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang, dan akan kami teruskan ke pihak terkait,” ujar pimpinan rapat menutup pertemuan.

Ia juga menyampaikan bahwa hasil resmi rapat dapat diakses oleh para peserta melalui komunikasi dengan sekretariat DPR. Rapat ini turut disiarkan secara live streaming sebagai bentuk komitmen terhadap transparansi publik.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *