Hukum

KPK Kini Dilarang Tangkap Direksi dan Komisaris BUMN, Kewenangan KPK Semakin Terbatas

×

KPK Kini Dilarang Tangkap Direksi dan Komisaris BUMN, Kewenangan KPK Semakin Terbatas

Sebarkan artikel ini

Jakarta, voxasia.id- Ketika publik berharap pengawasan terhadap Badan Usaha Milik Negara (BUMN) semakin ketat, kenyataannya arah regulasi justru menunjukkan sebaliknya. Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang BUMN, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghadapi tantangan serius dalam menjalankan tugasnya. Masalah utama terletak pada satu klausul dalam undang-undang tersebut — Pasal 9G.

“Anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan Dewan Pengawas BUMN bukan merupakan penyelenggara negara.”

Kalimat ini mungkin terlihat sederhana, tetapi dampaknya sangat besar. KPK berisiko kehilangan wewenang untuk menangani sebagian besar kasus korupsi yang melibatkan BUMN, khususnya jika nilai kerugian negara tidak cukup besar. Hal ini bukan sekadar spekulasi, melainkan merupakan konsekuensi langsung dari ketentuan dalam Pasal 11 UU KPK (UU No. 19 Tahun 2019). Dalam pasal tersebut, KPK hanya dapat menangani perkara apabila:

  1. Pelaku adalah penyelenggara negara atau aparat penegak hukum, dan/atau
  2. Tindak pidana menimbulkan kerugian negara sekurang-kurangnya Rp1 miliar.

Dengan dihapuskannya status penyelenggara negara bagi direksi dan komisaris BUMN, banyak kasus yang melibatkan mereka otomatis berada di luar jangkauan KPK, kecuali jika melibatkan kerugian negara yang cukup besar.

Kontradiksi hukum muncul di sini. Pasal 1 angka 1 UU BUMN menyatakan:

“BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.”

Secara substansi, BUMN adalah perpanjangan tangan negara dalam menjalankan kegiatan bisnis. Dana yang dikelola berasal dari negara dan keuntungan yang diperoleh disetor ke negara. Namun, anehnya, pejabat yang memimpin BUMN kini tidak lagi dianggap sebagai bagian dari penyelenggara negara.

Apakah ini hanya sekadar perubahan definisi, atau malah merupakan langkah sistematis yang akan melemahkan pengawasan terhadap potensi korupsi di sektor yang sangat strategis? Jika pengawasan semakin dilemahkan, siapa yang akan memantau potensi penyalahgunaan kekuasaan atau manipulasi proyek-proyek besar di BUMN yang perputaran uangnya sangat besar?

Kondisi ini memunculkan kekhawatiran akan terciptanya “zona abu-abu” dalam pemberantasan korupsi, yaitu zona di mana pelaku bukan penyelenggara negara, nilai kerugian negara tidak memenuhi ambang batas KPK, dan pada akhirnya kasus-kasus tersebut tidak tersentuh atau hanya diselesaikan secara administratif.

Tanpa kewenangan penuh terhadap struktur BUMN, KPK berpotensi menjadi penonton dalam dunia korporasi negara yang sebenarnya memerlukan pengawasan yang ketat.

Kini, pertanyaan mendasar yang muncul bukan hanya terkait teknis hukum, tetapi juga soal komitmen negara dalam menjaga transparansi dan integritas di lembaga yang mengelola kekayaan publik. Apakah negara dengan sengaja menarik garis batas antara pengawasan dan kekuasaan? Atau hanya kurang cermat dalam membaca dampak jangka panjang dari satu pasal dalam undang-undang ini?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *