Jakarta, VoxAsia.id – Pemerintah Albania baru-baru ini mengusulkan undang-undang kontroversial yang dapat melarang anak-anak di bawah 16 tahun untuk menggunakan platform media sosial seperti TikTok, Instagram, dan Roblox. Langkah ini, yang dianggap sebagai kebijakan “terkemuka di dunia,” menciptakan pro dan kontra yang mendalam, terutama di kalangan generasi muda yang telah tumbuh dengan media sosial sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupan mereka. Bagi banyak orang, tindakan ini menyoroti tantangan besar dalam upaya negara untuk mengatur dunia digital tanpa mempertimbangkan perspektif dari mereka yang paling terpengaruh—kaum muda itu sendiri.
Sebagai anggota Gen Z, saya sendiri telah mengalami transformasi besar dalam hidup saya yang dibentuk oleh kehadiran media sosial. Lahir hanya 10 bulan sebelum Facebook diluncurkan di Australia, saya tidak mengenal dunia tanpa media sosial. Setiap momen berharga dari kehidupan saya, sejak langkah pertama hingga pencapaian remaja, dibagikan kepada keluarga, teman, dan dunia melalui platform ini. Dari Facebook hingga Instagram dan TikTok, media sosial telah menjadi ruang untuk berbagi, belajar, dan terhubung. Karena itulah, saya yakin sangat penting untuk mengajari anak-anak cara hidup berdampingan dengan media sosial, daripada melarang mereka menggunakannya secara sepihak.
Pentingnya Media Sosial untuk Kaum Muda
Penelitian dari Western Sydney University baru-baru ini menemukan bahwa hampir 40% anak-anak dan lebih dari 60% remaja mengandalkan media sosial untuk mendapatkan berita dan informasi terkini. Di era digital ini, platform media sosial bukan hanya tempat untuk hiburan, tetapi juga saluran penting untuk mendidik kaum muda, memperkenalkan mereka pada isu-isu global, dan membentuk pandangan mereka tentang dunia. Tanpa media sosial, banyak anak muda mungkin akan kehilangan akses ke informasi yang membentuk pemahaman mereka tentang dunia di sekitar mereka.
Namun, meskipun media sosial memiliki potensi besar, perusahaan-perusahaan besar yang mengoperasikannya juga harus bertanggung jawab dalam memastikan bahwa konten yang disebarkan aman dan tidak beracun. Ironisnya, meskipun ada manfaat yang jelas, media sosial sering kali gagal memoderasi diskusi politik yang bernuansa, menciptakan ruang yang kadang kala penuh dengan kebencian dan polarisasi. Ini tidak berarti kita harus melarang anak-anak mengaksesnya. Sebaliknya, ini adalah kesempatan untuk mendidik generasi muda tentang cara berinteraksi secara sehat, penuh rasa hormat, dan bertanggung jawab di dunia digital.
Tanggung Jawab Digital dan Ketidakcocokan Kebijakan Pemerintah
Sebagai bagian dari usulan kebijakan, pemerintah Albania juga mengumumkan rencana untuk menerapkan ‘tugas perawatan digital’, yang akan memberi tanggung jawab lebih kepada perusahaan media sosial untuk menjaga kesehatan mental penggunanya. Langkah ini disambut baik oleh mereka yang telah lama mengkritik perusahaan-perusahaan besar yang tidak menjalankan tanggung jawab mereka dengan benar. Namun, ada ketidaksesuaian yang perlu dicatat: pemerintah yang sama yang mendukung larangan media sosial bagi anak-anak ini juga baru-baru ini menangguhkan inisiatif penting untuk memasukkan tugas perawatan iklim dalam hukum federal—sebuah upaya yang bertujuan melindungi kaum muda dari ancaman krisis iklim. Keputusan ini menimbulkan pertanyaan tentang apa yang sebenarnya dihargai oleh pemerintah dalam melindungi kaum muda.
Selain itu, sangat penting untuk dicatat bahwa larangan media sosial tanpa mendengarkan masukan dari generasi muda, yang langsung terdampak, tidak dapat diterima. Para pemimpin pemerintah, seperti Perdana Menteri Anthony Albanese, sering kali berbicara dengan orang tua dan orang dewasa lainnya tentang kebijakan ini, tetapi tidak ada konsultasi serius dengan kaum muda—mereka yang lebih mengerti tantangan dan peluang yang ada di dunia digital. Ini menunjukkan adanya kesenjangan yang perlu dijembatani dalam pengambilan kebijakan.
Aktivisme dan Keterlibatan Kaum Muda di Media Sosial
Selain sebagai saluran informasi, media sosial juga telah menjadi tempat utama bagi aktivisme pelajar. Media sosial memungkinkan generasi muda untuk berbagi ide, membentuk jaringan dengan orang-orang berpikiran sama, dan mendukung gerakan global. Sebagai aktivis muda, saya melihat bagaimana media sosial dapat menjadi alat yang sangat kuat untuk membangun kesadaran tentang isu-isu sosial dan politik serta memobilisasi tindakan nyata.
Melalui platform seperti Instagram dan TikTok, kami bisa berbagi konten edukatif yang sesuai usia, yang membantu mengedukasi dan memberdayakan kaum muda untuk terlibat dalam masalah yang mempengaruhi mereka secara langsung. Tak hanya itu, media sosial menyediakan ruang bagi mereka yang memiliki pemikiran yang sama untuk memperjuangkan masa depan yang lebih aman dan adil. Aktivisme pelajar di media sosial berfungsi sebagai ruang bagi generasi muda untuk menyuarakan pandangan mereka, yang mana sangat penting dalam menjaga demokrasi yang sehat. Larangan terhadap kebebasan mereka untuk terlibat dalam wacana politik dan aktivisme daring akan mengurangi kemampuan mereka untuk membentuk masa depan mereka sendiri.
Melibatkan Kaum Muda dalam Proses Kebijakan
Larangan terhadap media sosial jarang menjadi solusi efektif untuk masalah yang lebih besar. Sebaliknya, penting untuk melibatkan mereka yang paling memahami isu ini—kaum muda itu sendiri—dalam proses pengambilan kebijakan. Ketimbang melarang atau membatasi akses mereka, mari kita bekerjasama untuk menciptakan platform yang memungkinkan generasi muda untuk terlibat dengan aman dan penuh rasa hormat dalam percakapan sosial dan politik, demi masa depan yang lebih baik untuk semua. Ini adalah langkah yang lebih bijaksana dan efektif dalam membimbing generasi muda agar dapat hidup berdampingan dengan media sosial, tanpa mengorbankan kebebasan mereka untuk berbicara, belajar, dan berpartisipasi dalam masyarakat global.