Mendidik Bukan Menghukum: Kritik terhadap Program Pembinaan Militeristik bagi Pelajar di Jabar

Oleh: Moch Ramdani. S.Sos*

Mulai 2 Mei 2025, Pemerintah Provinsi Jawa Barat di bawah kepemimpinan Dedi Mulyadi akan melaksanakan program pembinaan karakter bagi siswa bermasalah di barak militer, bekerja sama dengan TNI dan Polri. Program ini menyasar siswa yang dinilai sulit dibina, terlibat pergaulan bebas, atau aktivitas kriminal, dengan masa pembinaan selama enam bulan di barak khusus tanpa mengikuti pendidikan formal.

Program tersebut memunculkan pertanyaan mendasar: apakah pendekatan berbasis disiplin militer merupakan jawaban yang tepat atas persoalan kenakalan pelajar?

Gejala Sistemik

Fenomena anak bermasalah sejatinya merupakan manifestasi kegagalan sistemik: mulai dari pola asuh keluarga, lingkungan sosial, hingga sistem pendidikan nasional.
Penelitian di bidang psikologi dan kriminologi menunjukkan bahwa perilaku menyimpang pada anak dan remaja kerap berakar pada trauma masa kecil, kekerasan domestik, ketidakstabilan emosional, serta kegagalan institusi sosial dalam memberikan dukungan.

Anak-anak yang terlibat kenakalan bukan sekadar pelanggar norma, melainkan korban dari lingkungan yang gagal memenuhi kebutuhan dasar mereka—baik secara emosional, sosial, maupun ekonomi.

Keterbatasan Pendekatan Militeristik
Mengadopsi pendekatan militer terhadap anak bermasalah justru berisiko memperburuk keadaan.
Militer, dengan tradisi hierarki, ketatnya kedisiplinan, dan budaya senioritas, tidak dirancang untuk menangani kebutuhan emosional atau penyembuhan trauma psikologis.

Berbagai studi internasional, termasuk pengalaman program “troubled teen industry” di Amerika Serikat, menunjukkan bahwa pendekatan keras terhadap remaja bermasalah tidak hanya gagal memperbaiki perilaku, tetapi juga berpotensi menimbulkan trauma baru, memperdalam alienasi sosial, dan meningkatkan risiko keterlibatan dalam kriminalitas di masa dewasa.

Di Indonesia sendiri, kasus-kasus kekerasan dalam pelatihan akademi militer maupun kepolisian seharusnya menjadi pengingat bahwa lingkungan tersebut belum tentu aman bagi perkembangan psikologis anak-anak.

Pentingnya Pendekatan Restoratif
Mendidik bukan semata menegakkan ketertiban, melainkan membangun kesadaran, empati, dan tanggung jawab sosial.

Berbagai pendekatan berbasis restorative justice di dunia pendidikan menawarkan alternatif: mengutamakan pemulihan hubungan sosial, konseling, terapi keluarga, serta penguatan keterampilan sosial-emosional.

Penelitian oleh Morrison (2007) membuktikan bahwa penerapan restorative practices di lingkungan sekolah secara signifikan menurunkan tingkat kekerasan dan kenakalan siswa, sekaligus membangun budaya sekolah yang lebih inklusif dan suportif.

Dalam konteks ini, rehabilitasi psikososial jauh lebih efektif dibandingkan penghukuman berbasis kekerasan simbolik.

Membangun Masa Depan
Investasi terbesar dalam pendidikan karakter bukanlah pada ketatnya barisan atau kerasnya instruksi, melainkan pada kesediaan untuk memahami kompleksitas pengalaman hidup anak-anak.
Kebijakan yang berpihak pada pertumbuhan anak harus mengedepankan pendekatan berbasis penyembuhan, bukan penghukuman.

Menghadapi kenakalan pelajar dengan pendekatan militer hanya akan memperkuat budaya kekerasan struktural yang selama ini kita upayakan untuk ubah.
Pendidikan sejati membutuhkan keberanian untuk berempati, membimbing, dan memulihkan.

Anak-anak bermasalah bukan musuh yang harus ditaklukkan, melainkan individu yang harus diselamatkan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *