Voxasia.id | 31 Mei 2025
Saat usia produktif sedang memuncak, kesempatan kerja justru menyusut. Di balik bonus demografi, Indonesia menghadapi bahaya tersembunyi: lonjakan pengangguran.
Tingkat Pengangguran Merangkak Naik
Laporan World Economic Outlook IMF (April 2025) menempatkan Indonesia sebagai negara dengan tingkat pengangguran ketiga tertinggi di Asia. Angkanya mencapai 5,0%, hanya sedikit di bawah Tiongkok (5,1%) dan jauh di bawah Pakistan (8%).
Data Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2025 mencatat bahwa jumlah pengangguran di Indonesia bertambah 83 ribu orang, menjadi 7,28 juta jiwa. Padahal, jumlah angkatan kerja meningkat 3,67 juta menjadi 153,05 juta jiwa. Artinya, banyak yang siap bekerja, namun lapangan kerja tidak tersedia.
Pertumbuhan Ekonomi Belum Padat Karya
Meski ekonomi Indonesia tumbuh stabil di kisaran 4,7%–5,0%, pertumbuhan itu tidak mampu menciptakan cukup lapangan kerja. Penyebabnya, sektor yang berkembang justru tidak padat karya — seperti digital, pertambangan, dan ekspor komoditas.
Transformasi digital dan otomatisasi juga menekan kebutuhan tenaga kerja di sektor tradisional. Akibatnya, banyak lulusan muda tidak terserap secara optimal di dunia kerja.
Tertinggal dari Negara Tetangga
Jika dibandingkan negara ASEAN lainnya, posisi Indonesia tampak kurang menguntungkan. Thailand dan Malaysia berhasil menjaga tingkat pengangguran di bawah 3%. Sementara Indonesia hanya sedikit lebih baik dari Filipina.
Negara Pengangguran 2025
Thailand 1,0%
Malaysia 3,2%
Singapura 2,0%
Filipina 4,5%
Indonesia 5,0%
Ini menandakan bahwa stabilitas ekonomi Indonesia belum cukup diterjemahkan ke dalam penciptaan lapangan kerja yang luas dan inklusif.
Pekerja Informal dan Pengangguran Terselubung
Tingkat pengangguran hanyalah permukaan dari masalah yang lebih dalam. Di Indonesia, lebih dari 55% tenaga kerja bekerja secara informal. Mereka tidak memiliki jaminan sosial, upah layak, atau perlindungan ketenagakerjaan.
Selain itu, pengangguran terselubung (underemployment) masih tinggi. Banyak yang hanya bekerja paruh waktu atau di sektor dengan produktivitas rendah. Kondisi ini memperburuk ketimpangan dan membuat produktivitas nasional stagnan.
Tekanan Eksternal Memperburuk Situasi
Ekonomi global menunjukkan tanda-tanda perlambatan. IMF merevisi proyeksi pertumbuhan kawasan ASEAN-5 (termasuk Indonesia) dari 4,6% pada 2024 menjadi 4,0% pada 2025. Beberapa faktor penyebabnya:
Melemahnya ekspor dan permintaan global
Harga komoditas (terutama minyak) turun tajam –15,5%
Ketidakpastian akibat proteksionisme dan konflik geopolitik
Indonesia, sebagai eksportir komoditas dan manufaktur, ikut terdampak. Permintaan luar negeri turun, dan ekspor anjlok dari 6,7% (2024) menjadi hanya 1,6% (2025).
Bonus Demografi Bisa Berbalik Menjadi Bencana Sosial
Indonesia masih berada dalam masa bonus demografi. Proporsi usia produktif tinggi, namun tidak diimbangi penciptaan kerja yang memadai. Jika dibiarkan, potensi ini akan berubah menjadi beban sosial.
Generasi muda yang frustrasi karena sulit mendapat pekerjaan bisa menimbulkan instabilitas sosial, ekonomi, bahkan politik. Pemerintah harus segera mengambil langkah konkret agar peluang emas ini tidak berubah menjadi krisis. Bonus demografi bisa menjadi titik balik kemajuan, atau jalan menuju stagnasi. Saat lapangan kerja menyusut dan angka pengangguran naik, pemerintah tak bisa sekadar berpangku tangan. Ketahanan ekonomi nasional hanya bisa tercapai jika sumber daya manusianya diberdayakan secara maksimal.
Sumber: World Economic Outlook, International Monetary Fund (IMF), April 2025 – “Global Growth: Divergent and Uncertain”