Jakarta, voxasia.id – Keterlibatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam pengamanan lembaga sipil, khususnya Kejaksaan, kembali menjadi sorotan publik. Pada awal Mei 2025, Surat Telegram KASAD Nomor ST/1192/2025 memerintahkan pengerahan pasukan TNI AD untuk mengamankan Kejaksaan Tinggi (Kejati) dan Kejaksaan Negeri (Kejari) di seluruh Indonesia. Berdasarkan perintah ini, pasukan yang diterjunkan adalah 1 SST (30 orang) untuk Kejati dan 1 regu (10 orang) untuk Kejari, dengan rotasi bulanan yang diatur oleh TNI. Pengerahan ini dilakukan atas dasar Telegram Panglima TNI Nomor TR/422/2025, dan menimbulkan berbagai pertanyaan terkait legalitas, konstitusionalitas, serta dampaknya terhadap independensi lembaga penegak hukum.
TNI dan Kejaksaan: Kerja Sama atau Intervensi?
Mayjen TNI Kristomei Sianturi, Kepala Pusat Penerangan TNI, menyatakan bahwa dukungan pengamanan oleh personel TNI Angkatan Darat kepada jajaran Kejaksaan dilaksanakan berdasarkan permintaan resmi dan kebutuhan yang terukur.
Ia menambahkan bahwa dukungan pengamanan ini merupakan bagian dari kerja sama resmi antara TNI dan Kejaksaan Republik Indonesia (RI), yang tertuang dalam Nota Kesepahaman (MoU) Nomor NK/6/IV/2023/TNI tanggal 6 April 2023. Pelaksanaan kerja sama ini mengacu pada ketentuan hukum yang berlaku.
“TNI senantiasa menjunjung tinggi prinsip profesionalitas, netralitas, dan sinergi antarlembaga,” kata Kristomei di Jakarta, Minggu (11/5/2025), seperti dilansir dari Antara.
Kristomei menjelaskan bahwa terbitnya Surat Telegram Kepala Staf TNI AD Nomor ST/1192/2025 tertanggal 6 Mei 2025 tentang pengamanan jajaran Kejaksaan merupakan bagian dari kerja sama pengamanan yang bersifat rutin dan preventif, sebagaimana yang telah berjalan sebelumnya.
Lebih lanjut, Kapuspen TNI menjelaskan bahwa ruang lingkup kerja sama ini mencakup pendidikan dan pelatihan, pertukaran informasi untuk kepentingan penegakan hukum, penugasan prajurit TNI di lingkungan Kejaksaan Republik Indonesia, serta penugasan jaksa sebagai supervisor di Oditurat Jenderal TNI.
Selain itu, tentang dukungan dan bantuan personel TNI dalam pelaksanaan tugas dan fungsi Kejaksaan, juga mencakup dukungan kepada TNI di bidang Perdata dan Tata Usaha Negara, yang meliputi pendampingan hukum, bantuan hukum litigasi dan nonlitigasi, penegakan hukum, serta tindakan hukum lainnya
Namun, muncul kekhawatiran bahwa keterlibatan TNI dalam pengamanan lembaga sipil ini berpotensi mengaburkan garis antara kekuatan militer dan sipil, yang merupakan pilar demokrasi. Apalagi, peran TNI seharusnya terbatas pada menjaga kedaulatan negara dan bukan mengurusi pengamanan institusi sipil. Pertanyaannya, sejauh mana MoU antara TNI dan Kejaksaan bisa dijadikan dasar hukum yang sah untuk mengerahkan pasukan militer ke dalam ranah sipil?
Apakah MoU Cukup Menjadi Dasar Hukum?
Salah satu masalah utama dalam polemik ini adalah keabsahan hukum dari MoU tersebut. Dalam perspektif hukum, MoU tidak memiliki kekuatan hukum yang setara dengan undang-undang, peraturan pemerintah (PP), atau keputusan presiden (Keppres). Undang-Undang TNI Nomor 34 Tahun 2004 Pasal 7 ayat (3) jelas menyatakan bahwa TNI hanya bisa memberikan bantuan kepada instansi lain berdasarkan keputusan politik negara yang sah, bukan hanya berdasar kesepakatan administratif seperti MoU.
Lebih jauh lagi, Pasal 30 UUD 1945 dan Undang-Undang Pertahanan menegaskan bahwa TNI memiliki tugas untuk menjaga kedaulatan negara dan melindungi negara dari ancaman luar, bukan untuk berperan dalam pengamanan lembaga penegak hukum. Keterlibatan langsung TNI dalam situasi selain masa darurat atau konflik berisiko melanggar prinsip-prinsip demokrasi, seperti supremasi sipil dan profesionalisme militer. Ini bisa membuka celah bagi praktik-praktik militerisme yang tidak seharusnya ada dalam institusi sipil.
Independensi Kejaksaan Terancam?
Keberadaan personel militer di lingkungan Kejaksaan juga memunculkan kecemasan akan terjadinya intervensi terhadap independensi lembaga penegak hukum tersebut. Sebagai lembaga yang seharusnya bebas dari pengaruh kekuatan lain, Kejaksaan berisiko terjebak dalam dinamika yang tidak diinginkan apabila terlibat langsung dengan militer. TNI, meskipun memiliki peran yang sangat vital dalam pertahanan negara, harus tetap menjaga jarak dengan institusi sipil agar tidak merusak prinsip dasar demokrasi, yang menekankan pada pemisahan kekuasaan sipil dan militer.
Di sisi lain, kehadiran militer di Kejaksaan juga berisiko mengaburkan batasan antara otoritas militer dan sipil, yang seharusnya jelas dalam negara demokrasi. Jika hal ini terus dibiarkan, bukan tidak mungkin kita akan kembali ke era di mana militer memiliki peran yang sangat dominan dalam kehidupan sipil, seperti yang terjadi pada masa Orde Baru dengan praktik dwi-fungsi ABRI.
Penilaian Hukum dan Konstitusionalitas
Berdasarkan tinjauan hukum, legalitas dari penugasan ini patut dipertanyakan. Mengingat hanya didasarkan pada MoU, yang sifatnya administratif, tanpa didukung oleh Keppres atau peraturan resmi, pengerahan pasukan TNI dalam konteks ini berpotensi melanggar ketentuan hukum yang lebih tinggi. Apalagi, jika kita mengacu pada Pasal 30 UUD 1945 dan UU TNI, keterlibatan TNI dalam pengamanan Kejaksaan jelas bertentangan dengan tugas konstitusional mereka.
Dari segi preseden demokrasi, langkah ini membuka kemungkinan bagi kebangkitan kembali praktik dwi-fungsi TNI, yang sangat berbahaya bagi stabilitas negara demokratis. Tidak hanya itu, pemerintah juga perlu memberikan penjelasan yang jelas terkait dengan ancaman yang ada terhadap Kejaksaan, mengingat tidak ada bukti konkret yang menunjukkan adanya risiko signifikan yang membutuhkan keterlibatan TNI dalam pengamanan.
Kesimpulan
Nota Kesepahaman antara TNI dan Kejaksaan tidak cukup untuk dijadikan dasar hukum yang sah bagi pengerahan pasukan TNI dalam pengamanan institusi sipil. Pemerintah perlu segera memberikan penjelasan yang lebih rinci terkait dasar hukum dan kebutuhan nyata di balik keputusan ini.
Dengan situasi yang berkembang, perlu ada langkah-langkah untuk memastikan bahwa kebijakan ini tidak melanggar prinsip-prinsip hukum dan konstitusional yang lebih tinggi, serta menjaga pemisahan yang jelas antara kekuatan militer dan sipil. Keterlibatan TNI dalam pengamanan lembaga sipil harus dilakukan dengan sangat hati-hati agar tidak merusak fondasi negara demokratis yang telah dibangun.
Sumber:
- Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.
- Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
- Surat Telegram KASAD Nomor ST/1192/2025.