Damaskus, voxasia.id- Pemerintah baru Suriah memulai langkah reformasi keamanan dengan melibatkan ajaran Islam sebagai landasan pelatihan polisi. Langkah ini bertujuan menanamkan moralitas dalam tubuh kepolisian sekaligus mengatasi kekosongan keamanan pasca pembubaran pasukan keamanan era Bashar al-Assad yang dikenal korup dan represif. Namun, pendekatan ini menuai perhatian dan kritik, baik dari dalam negeri maupun komunitas internasional, mengingat potensi risiko yang ditimbulkannya pada keragaman sosial dan stabilitas politik Suriah.
Islam dan Reformasi Kepolisian
Pasukan polisi baru yang dibentuk dari wilayah bekas kantong pemberontak di Idlib kini diarahkan untuk menjalani pelatihan singkat dengan fokus pada hukum syariah Islam. Para pelamar diwajibkan memiliki pemahaman agama yang memadai sebagai syarat utama. Menurut Hamza Abu Abdel Rahman, salah satu pendiri akademi kepolisian baru, pemahaman ajaran agama penting agar polisi bertindak adil dalam menjalankan tugas mereka.
Meski demikian, penggunaan agama sebagai dasar pelatihan dan perekrutan memicu perdebatan di kalangan masyarakat Suriah. Kelompok minoritas, termasuk Kristen, Alawi, dan Druze, serta sebagian besar warga Muslim Sunni di kota-kota besar seperti Damaskus dan Aleppo, khawatir dengan implikasi keberagaman dan potensi penerapan hukum agama di masyarakat kosmopolitan.
Respons Regional dan Internasional
Kelompok Hayat Tahrir al-Sham (HTS), yang kini menjadi kekuatan dominan, berupaya menampilkan citra moderat dan pragmatis untuk meyakinkan negara-negara Barat dan Timur Tengah bahwa mereka telah meninggalkan hubungan masa lalunya dengan Al Qaeda. Pemimpin de facto Suriah, Ahmed al-Sharaa, juga menyatakan bahwa pemerintahannya akan melindungi kelompok minoritas dan tidak akan menerapkan hukum Islam secara ketat.
Namun, skeptisisme tetap ada. Seorang diplomat Barat yang tidak disebutkan namanya menyatakan kekhawatirannya atas langkah ini, dengan menyoroti bahwa peran agama dalam pelatihan kepolisian bisa menjadi indikator bagaimana hukum Islam akan dimasukkan dalam konstitusi baru Suriah.
Tantangan Operasional di Tengah Kekosongan Keamanan
Pasca penggulingan Assad, pasukan keamanan yang ditakuti selama ini dibubarkan, menyisakan kekosongan keamanan yang signifikan. Kantor-kantor polisi dijarah, catatan dihancurkan, dan sebagian besar pasukan lama tidak lagi berfungsi. Kini, pemerintah baru hanya mampu mengoperasikan setengah dari 20 stasiun kepolisian di Damaskus, dengan jumlah personel yang jauh lebih sedikit dibandingkan masa lalu.
Di tengah situasi keamanan yang rapuh, permintaan untuk bergabung dengan kepolisian baru cukup besar. Lebih dari 200.000 orang telah mendaftar untuk menjadi bagian dari pasukan ini. Namun, keterbatasan sumber daya dan pelatihan singkat memunculkan kekhawatiran tentang efektivitas dan profesionalisme pasukan baru ini.
Antara Stabilitas dan Polarisasi
Upaya untuk mereformasi kepolisian dengan menggunakan ajaran agama dapat dilihat sebagai langkah pragmatis untuk membangun fondasi moral di tengah ketidakpercayaan masyarakat terhadap institusi keamanan lama. Namun, pendekatan ini juga membawa risiko serius, terutama dalam memperkuat polarisasi sosial di negara yang telah lama didera konflik sektarian.
Keragaman sosial Suriah menuntut kebijakan yang inklusif untuk membangun kembali kepercayaan masyarakat lintas kelompok. Jika pemerintah baru terlalu mengedepankan identitas agama dalam struktur kekuasaan, hal ini dapat menimbulkan ketegangan baru dan melemahkan legitimasi internasional mereka.
Ke depan, keberhasilan reformasi ini akan sangat bergantung pada keseimbangan antara penguatan nilai moral dalam kepolisian dan pemeliharaan inklusivitas dalam institusi keamanan. Jika dikelola dengan bijaksana, ini bisa menjadi langkah awal menuju stabilitas Suriah yang lebih baik. Namun, jika tidak, hal ini dapat memicu perpecahan baru di negara yang sudah lama terfragmentasi.